ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
Oleh: Irwan Maulana Hidayat
A.
Pendahuluan
Banyak sekali karya-karya pemuda-pemudi
islam dalam mengkaji bahasan antara islam dan budaya lokal berupa
tulisan-tulisan baik itu dimedia cetak maupun ditulis dibuku-buku ilmiah akan
tetapi pembahasan ini sampai saat ini masih dalam dialektika yang belum terselesaikan.
Semoga dalam makalah singkat dan padat ini bisa sedikit membahas dan memperluas
wawasan dan pengetahuan kita sehingga bermanfaat bagi kehidupan kita.
Islam adalah sebuah tatanan kehidupan
yang sangat sempurna dan lengkap karena didalam islam itu sendiri mengatur
segala macam aturan mulai dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar,
mulai aturan kehidupan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat serta lingkungan.
Segala macam aturan dalam islam. Islam ialah agama yang sempurna dalam mengatur
segala macam aspek kehidupan hal ini termaktum dalam surat Al-Maidah sebagai berikut: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu”. (Al-Maaidah: 3).
Islam sudah kita yakini adalah agama yang sempurna
akan tetapi dalam kesempurnaannya dan dalam implentasi kehidupan sehari-hari
masih membutuhkan penafsiran-penafsiran dan penakwilan dalam kaidah-kidah
tertentu. Karena tidak semua ayat-ayat yang terdapat dalam naskah tekstual
Al-Quran sebagai kitab suci dari agama Islam adalah ayat-ayat muhkamat dan pada
ayat-ayat yang masuk kategori terang dan jelas, ini pun dalam hal praktis
dilapangan terkadang tetap masih membutuhkan penjelasan sehingga dialektika
yang terjadi tidak mengarah pada pengaburan dari makna yang sebenarnya
terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Perlunya hal ini dilakukan karena untuk
menyesuaikan dengan perubahan zaman, bukan zaman yang dipaksakan masuk dalam
pemahaman dan tafsiran yang pernah ada dari ayat-ayat tersebut tetapi justru
naskah tekstual yang ada yang harus dipahami dalam konteks kekinian.
Dengan meletakkan pola pemikiran seperti ini, maka
apa yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran sebagai kitab suci agama Islam
yang berlaku dan sesuai dengan perkembangan zaman akan tercerminkan dalam
kehidupan Islam itu sendiri. Selain itu juga ada kaidah yang menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk pada zamannya, maka kapanpun dan dimanapun manusia
berada Islam akan tetap biasa diandalkan sebagai solusi dalam menapaki
kehidupan dengan Al-Quran sebagai Standar Operating Procedure nya. Biasanya
terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna
(spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.
Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini
berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat
istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat
yang bersifat absolut.
B.
Definisi Budaya
dan Islam
Budaya merupakan produk pemikiran manusia yang terkait dengan tata cara
kehidupan masyarakat pada saat tertentu, tata cara peribadatan, system nilai
yang dianut, kebiasaan dan tradisi yang di jalankan, dll. Definisi mengenai
budaya ini memang sangat banyak sehingga ada kesan terkadang pengertian dalam
tataran konsep seolah–olah berbeda dengan pengertian dalam tataran praktis
karena begitu banyaknya dialektika yang terjadi sebagaimana juga dalam Islam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: "Budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dan sukar untuk diubah. Dengan demikian budaya menurut bahasa
sehari-harinya adalah suatu kebiasaan, adat istiadat dan suatu kegiatan manusia
yang dilakukan secara terus-menerus tanpa hentinya sampai kapanpun yang intinya
sesuatu yang dilakukan dalam jangka yang panjang”.
Islam berasal dari kata Salama, Taslimu, Salman,..dst Islam, dan ini
berasal dari perkataan-Nya yang diturunkan dalam bentuk Al-Quran. Sedangkan
Budaya berasal dari kata Budi dan Daya dimana didalamnya terdapat produk pemikiran
manusia. Kemudian mungkin akan timbul pertanyaan, layakkah sesuatu yang berasal
dari Allah di sandingkan dengan hasil olah pikir makhluk yaitu manusia. Sebelum
menjawab hal tersebut, mungkin kita harus mundur kebelakang empat belas abad
yang lalu untuk mengetahui adakah keterkaitan antara Islam melalui Al-Quran ini
dengan Budaya.
C.
Hubungan antara
Budaya dan Islam
1. Pemakaian Jilbab
Dalam kaitan dengan topik yang sedang di tulis ada salah satu ayat yang
terdapat pada QS al-Ahzab sebagai berikut: "Wahai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin;
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar
mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu"
(al-Ahzab, 59).
Budaya dan islam saling keterkaitan misalnya dalam contoh pemakaian
jilbab pada zaman dahulu. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsir al-Munir
mengatakan bahwa para ulama ahli tafsir seperti Ibnu al-Jauzi, at-Thabari, Ibnu
Katsir, Abu Hayyan, Abu as-Sa'ud, al-Jashash dan ar-Razi menafsirkan bahwa
mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, tubuh dan kulit dari pandangan orang
lain yang bukan keluarga dekatnya. Yang mendasari turunnya ayat tersebut
diantaranya seperti yang disampaikan Ibnu Sa'ad dalam bukunya at-Thabaqat dari
Abu Malik. Katanya, "Suatu malam, para isteri Nabi Saw keluar rumah untuk
memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum munafik menggoda dan mengganggu mereka.
Para istri-istri nabi kemudian mengadukan peristiwa itu kepada Nabi. Ketika
Nabi menegur, kaum munafik itu berkata, "Kami kira mereka
perempuan-perempuan budak." Stelah peristiwa ini maka turunlah QS Al-Ahzab
tersebut di atas. Pada saat itu pemakaian jilbab merupakan tradisi yang berlaku
pada para wanita-wanita di jazirah Arab sebelum turunnya Islam dan jilbab ini
sebagai pertanda yang membedakan antara wanita-wanita merdeka dengan para
budak, sebab para budak wanita tidak mungkin atau sulit untuk menggunakan
jilbab dikarenakan tugas dan pekerjaan mereka yang cukup berat untuk melayani
para majikannya sehingga umumnya mereka tidak memakainya walaupun tidak menutup
kemungkinan para budak wanita pun menggunakannya dengan menafsirkan apa yang tersurat
pada teks-teks di atas. Dalam kontek topik di atas mengapa di ambil jilbab
sebegai salah satu contoh, karena jilbab merupakan salah satu bentuk atau
bagian dari pakaian dimana pakaian adalah merupakan produk kebudayaan walaupun
ada beberapa contoh-contoh lainnya yang akan disebutkan. Budaya sebagaimana
telah diketahui terkait atau identik dengan symbol-simbol dan jilbab inipun
merupakan sebuah symbol dalam Islam dimana tersurat dalam al-Qur’an dan juga
merupakan symbol dari kebudayaan setempat pada saat itu .
Dalam konteks tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahasa mengenai
jilbab itu sendiri dari sisi syariat tetapi hanya sekedar untuk mengetahui
mengenai adakah keterkaitannya antara budaya setempat dengan Islam pada saat
turunnya, dan ternyata dengan mencermati dan menelaah baik dari naskah yang
tertulis dalam Al-Qur’an pada ayat di atas ataupun budaya yang berlaku saat
Islam datang ternyata dapat diketahui ada kaitan yang erat mengenai hal
tersebut di atas. Maka apa yang terjadi berikutnya adalah adanya kolaborasi
(baca: mutualisme atau interdependensi) antara datang dan berkembangnya Islam
dengan budaya setempat, Islam butuh budaya karena budaya adalah sebagai wadah
dan sarana demi masuk dan berkembangnya Islam pada saat itu sedangkan dari sisi
budaya dengan masuknya Islam menjadi mempertinggi dan memperluas khazanah
budaya tersebut sehingga apa yang terjadi adalah wadah atau kemasannya adalah
budaya dan esensi atau nilai-nilai yang terpancarkannya menjadi nilai-nilai
yang islami.
2. Tata Cara Makan, Prosesi Pernikahan dll
Contoh-contoh sisa-sisa peninggalan budaya masa lalu sebelum Islam masuk
dan kembali serta masih berlaku di Saudi Arabia sampai saat ini adalah tatacara
makan, prosesi pernikahan dll. Berbicara mengenai pernikahan dalam Islam
ternyata akan selalu terkait dengan masalah Poligami yang mungkin ditakuti oleh
sebagian besar Muslimah di Indonesia. Seperti terdapat pada al-Qur’an yang
mulia dimana tertulis pada QS surat An-Nisaa yang sudah sangat diketahui dan
dipahami oleh Muslim dan Muslimah dimana diperbolehkannya menikahi wanita 2
orang, 3 orang bahkan sampai 4 orang. Selain itu juga ada hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi sebagai berikut: "An nikahu sunnatiy, fa man ragiba ‘an sunnatiy
fa laysa minniy”. Terjemahan bebas dari hadits beliau SAW adalah bahwa nikah
adalah sunnah beliau dan barang siapa yang membenci sunnah beliau maka bukan
bagian dari ummat beliau. Dalil naqli di atas seolah-olah menjadi jurisprudensi
bagi kaum adam untuk berpoligami walaupun memang tidak ada larangan untuk
berpoligami bahkan termasuk menjalankan sunnah beliau SAW bagi yang mampu,
hanya saja situasi dan kondisinya mungkin sudah sangat berbeda dengan asbabun
nuzul dan asbabul wurud dari dalil naqli diatas khusunya di Indonesia, karena
wanita di Indonesia saat ini sudah dapat melakukan banyak hal diberbagai bidang
dan sangat berbeda sekali dengan apa yang dialami para wanita di Saudi sampai
dengan saat ini.
Berkaiatan dengan masalah prosesi pernikahan khususnya yang terjadi di
Saudi hingga saat ini sebagiannya mengacu kembali kepada tradisi dan budaya
masa lalu khususnyanya menyangkut biaya prosesi pernikahan dan
pernak-perniknya. Seorang pria di Saudi jika ingin menikahi seorang wanita Saudi
ternyata tidak mudah, mereka para kaum pria khususnya Saudi harus memenuhi apa
yang diminta oleh ayah dari pihak wanita dan biaya prosesi pernikahan di Saudi
bagi kaum kebanyakan ternyata tidaklah murah bahkan sebuah prosesi pernikahan
untuk masyarakat biasa yang terjadi adalah minimal memakan biaya sekitar sebuah
Toyota Altis semisal itu, ternyata di Saudi pernikahan lebih mahal dari pada
sebuah harga mobil.
Sementara apa yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya untuk kaum
kebanyakan. Belum lagi bila pihak wanita berasal dari kabilah yang lebih tinggi
dan lebih besar walaupun bukan dari kalangan kerajaan ataupun selebiriti
sehingga biaya prosesi pernikahan bisa mencapai nilai lebih dari 200.000 SAR
hanya untuk sebuah pesta pernikahan semata. Sementara sunnah Rosul SAW
mengatakan bahwa bagi kaum pria saat akan menikah hendaklah memberikan
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya dan pihak wanita meminta serendah
mungkin sehingga tidak menjadi kendala bagi berlangsungnya proses pernikahan
dan hal ini pernah dicontohkan oleh pernikahan Ali r.a. dengan Fathimah r.a.
puteri beliau dari Khadijah r.a. hanya dengan bermaharkan sebuah baju besi.
Dengan kondisi yang berlaku saat ini, maka bagi kaum pria di Saudi jangankan
untuk berpoligami untuk menikahi seorang wanita menjadi istrinya ternyata
tidaklah mudah akan tetapi ketika seorang pria memiliki kemampuan finansial
untuk menikahi lebih dari seorang wanita yang disenanginya sebagaimana tertulis
dalam al-Qur’an maka hal ini pun tidak sulit untuk melakukannya bahkan mungkin
prosesnya lebih mudah dari pada yang biasa terjadi di Indonesia. Sebenarnya
biaya prosesi pernikahan yang lebih dari hal tersebut di Indonesia pun kerap
terjadi, tetapi hanya terjadi pada kalangan tertentu saja tidak terjadi pada
rakyat biasa dengan tingkat pendidikan dan kualitas kehidupan rata-rata
kebanyakan warga.
Silogisme dari beberapa gambaran diatas ternyata tidak menutup
kemungkinan bahwa Islam di Indonesia pun bisa saja melakukan hal-hal seperti
Islam di Saudi, dimana nilai-nilai Islam yang ada mewarnai dan meresap dalam
wadah budaya Indonesia sehingga khazanah budaya bangsa inipun akan semakin
meninggi tanpa harus kehilangan jati diri budayanya. Dan ternyata hal ini
memang sudah sering diperbincangkan selama bebarapa saat lamanya baik dalam
sebuah diskursus tertentu ataupun yang mencoba untuk menerapkannya sebagai
sebuah solusi dalam menapaki kehidupan yang terus menerus mengalami perubahan
dan perkembangan zaman. Bila suatu saat hal ini terwujud dengan izin-Nya dan
usaha dari kaum Muslimin dan Muslimah Indonesia maka Islam yang Rahmatan Lil
‘Alamiin akan terwujud di bumi Indonesia yang sesuai dengan adat dan tradisi
masyarakat Indonesia tanpa harus kehilangan esensi atau ruh dari Islam itu
sendiri juga rasa bangga dan percaya diri karena adanya symbol-simbol yang
berbeda dengan Islam di Timur tengah. Dari
contoh diatas dapat disimpulkan hubungan antara islam dan budaya local:
1. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan symbol
2. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.
Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan
kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan.
3. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial)
dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan
bersifat partikular, relatif dan temporer
4. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama
pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat
tempat
D.
Pola yang Terbentuk antara Islam dan Budaya Lokal
a.
Pola Integartif
1)
Pola
Islamisasi
2)
Pola
pribumisasi
b.
Pola
Dialog
1)
Pola
Negoisasi
2)
Pola
Konflik.
I.
|