Dalam pandangan Islam, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk suci,
dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.
Pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat positif dan
optimistik tentang manusia. Allah swt. dalam Al-Quran menyebut manusia
sebagai makhluk yang paling baik atau paling sempurna. "Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
[Q.S. At-Tin (95): 4]
Islam juga mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kemuliaan.
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri merek rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
Salah satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimistik Islam
tentang manusia adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani
(nuuraaniyyun). Kata ini berasal dari kata ‘nuur’ yang artinya cahaya.
Jadi, nurani berarti memiliki sifat cahaya. Dengan demikian ketika kita
menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya terkandung maksud bahwa hati kita
itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’ atau ‘menerangi’ jalan hidup
kita. Karena itulah Rasulullah saw. ketika ditanya seseorang tentang
cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan buruk,
beliau menjawab, "Sal dhamiraka, tanyalah kepada hatimu!”
Atas jawaban Rasulullah tersebut –bahwa hati kita memiliki kemampuan
untuk menerangi jalan hidup kita—kaum sufi sering menyebut hati sebagai
"ad-diin” (agama). Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia
(ad-diin al-majbuulah) dan sangat klop dengan agama yang diturunkan
dari langit (al-diin al-munazzalah), yaitu Al-Islam.
Meski begitu, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia. "…
dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 28].
Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda
untuk berbuat dosa dan mengotori kesucian jiwanya. Kelamahan inilah
yang membuat manusia keluar dari kesejatiannya sebagai makhluk yang
suci dan mulia.
Dalam kondisi jiwa yang kotor penuh dosa, derajat manusia bisa menjadi
lebih rendah dari binatang sekalipun. "… mereka memiliki hati, tetapi
tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti
hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” [Q.S. Al-A’raf (7): 179].
Terhadap orang-orang yang "terpeleset” dari kesejatiannya, Allah swt.
memberi kesempatan dan banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri
dari segala kotoran jiwa yang melekat. Mulai dari istighfar –ucapan
"astaghfirullah al-azhim, aku mohon ampun kepada Allah Yang Mahatinggi–
yang bisa digunakan kapanpun dan bersifat manasuka; fasilitas lima
kesempatan dalam sehari melalui shalat wajib; hingga fasilitas pekanan
dengan shalat Jum’at. Bagi yang menunaikan shalat Jum’at sesuai
tuntunan Rasulullah saw., Allah swt. memberi ampunan dosa dari shalat
Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya.
Dan yang paling spektakular adalah fasilitas tahunan: Ramadhan! Kata
Rasulullah saw., "Man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira
lahu maa taqaddama min dzambiihi wa maa ta-akhkhara, siapa yang
berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan perhitungan, diampuni segala
dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang.” (H.R. Ahmad dalam
musnadnya, Vol. II, hlm 385. No. 8989. Tambahan "wa maa ta-akhkhara”
oleh sejumlah pakar hadits dinilai lemah riwayatnya, tapi kalimat
selain itu disepakati berderajat shahih).
Begitulah Ramadhan. Sesuai dengan arti namanya "pembakar”, Ramadhan
membakar semua dosa-dosa seseorang muslim sehingga ia kembali ke
jatidirinya sebagai insan yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).
Segala fasilitas ampunan yang Allah swt. berikan kepada manusia yang
berdosa untuk kembali kepada fitrahnya adalah alasan bagi seorang dai
untuk tidak ada alasan untuk tidak berdakwah kepada orang yang
pembangkangannya kepada Allah swt. sekelas Fir’aun sekalipun. "Pergilah
kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-benar
telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau
takut.” [Q.S. Thaha (20): 42-43].
Begitulah Allah swt. Kata Rasulullah saw., "Allah mengembangkan
tanganNya pada waktu malam untuk memberi tobat kepada orang yang
melakukan keburukan di waktu siang, dan mengembangkan tanganNya di
waktu siang untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan dosa di
waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari terbit dari
barat (kiamat).” (H.R. Bukhari)
"Allah lebih senang mendapati hambaNya yang bertobat melebihi dari
kegembiraan seseorang dari kalian yang kembali menemukan hewan
kendaraannya yang penuh bekal makanan setelah ia kehilangannya di
padang pasir,” tambah Rasulullah saw. (H.R. Bukhari).
Jadi, tidak ada dalam kamus seorang dai kalimat "sudah tinggalin saja,
dia sih sudah gak bisa dibenerin lagi!” Sebab, seorang dai selalu
memakai kacamata positif dalam memandang manusia. Siapa pun dia selama
sebutannya masih manusia dan belum masuk kubur, adalah makhluk suci,
dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.