Ketika Madina terjadi paceklik yang sangat panjang, maka Rasululllah
SAW. bersama para sahabatnya perlu untuk mengadakan Sholat Istisqo'
(sholat minta hujan). Pelaksanaan sholat ini tidak di Masjid Nabawi tapi
di alun-alun kota Madina, dimana ketika Rasulullah SAW. berkhutbah agak
panjang pada sholat istisqo' para sahabat Nabi SAW. gelisah, maka
datanglah pertolongan Allah SWT. berupa awan, maka awan yang melindungi
Rasulullah SAW. berkhutbah, diabadikan sampai saat ini menjadi masjid
ghomamah/awan. Di alun-alun itu tidak hanya sholat istisqo' tapi juga
Sholat Iedain (Iedhul Fitri dan Iedhul Adha) dulu juga tidak dalam
Masjid Nabawi tapi di alun-alun kota madina yakni barat daya dari Masjid
Nabawi. Salah satu shaf shalat ketika mengikuti sholat
ististqo' dan ied bersama Nabi SAW. adalah shaf bilal bin Rabah yang
sampai saat ini diabadikan shaf shalat ini menjadi sebuah Masjid namanya
Masjid bilal Rabah, yang berlokasi selatan 550 meter dari Masjid Nabawi
dan 100 meter dari pasar kurma madina. Masjid ini tetap ditempati
sholat wajib, walaupun masjid-masjid yang lain sudah tertutup untuk
sholat wajib. Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang
sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan
pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman.
Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk
mendengarnya. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43
tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama
Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah.
Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan
ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di
kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani
Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah
bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika Mekah
diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi
wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah
termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat
Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah
mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah
binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin
Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin
al-Aswad. Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang
lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan
kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang
lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan
kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun. Orang-orang
Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga
dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas
(mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki
siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas
kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh
dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad. Kaum
yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati
sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang
telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan
mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah
hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah
Islam. Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan
Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa
henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang
pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang
Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas
itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka
terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup
sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil
memaksa mereka mencaci maki Muhammad. Adakalanya, saat
siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang
tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan
orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara
hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga
Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan
jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di
jalan-Nya. Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa
Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka
menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya
berkata, "Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada
telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata,
"Ahad, Ahad …." Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal
tetap mengatakan, "Ahad, Ahad….” Mereka memaksa Bilal
agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan
Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, "Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, "Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras. Apabila
merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf,
mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada
sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan
menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati
siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia
terus mengumandangkan pernyataan agungnya, "Ahad…, Ahad…, Ahad…,
Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah. Suatu
ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada
Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga
berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi
ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah
emas. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar,
"Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku
tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.” Ketika
Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia
telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para
penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu
Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya,
wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.” Setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya
untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal
Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan
Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit
demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan
dengan suaranya yang jernih, "Duhai malangnya aku,
akankah suatu malam nanti ,Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon
idzkhir dan jalil, Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
,Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil” Tidak
perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan
perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah
ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk
siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil
melawan nafsu dan godaan setan. Bilal tinggal di Madinah
dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap
menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai
Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal
selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun
beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk
berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya. Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi
di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang
pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam. Biasanya,
setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, "Hayya
‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari
meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera
melantunkan iqamat. Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah,
menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling
istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara
sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab,
tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal.
Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek
itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul
Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan
menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid. Bilal
menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi
janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya
para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat
Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus
pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak
orang-orang yang mereka siksa dahulu. Ketika Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di
depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’,
Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga
orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid,
yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam. Shalat Zhuhur tiba. Ribuan
orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik
dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang
agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap
Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal
melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang
hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas. Ribuan
pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat
azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang
tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam
dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka. Saat
azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, "Asyhadu anna
muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah
mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah,
kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami
sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar. Khalid
bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan
ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya
meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke
kota Mekah.. Sementara al-Harits bin Hisyam berkata,
"Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat
Bilal naik ke atas Ka’bah.” AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata,
"Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah
bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).” Sementara Abu Sufyan
yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun,
karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka
pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.” Bilal
menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat
menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di
masa lalu, ia melantunkan kata, "Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).” Sesaat
setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas
terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan,
sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus
kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat,
"Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup
mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa
menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana
semakin mengharu biru. Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga
hari. Setiap sampai kepada kalimat, "Asyhadu anna muhammadan
rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia
langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang
mendengarnya, larut dalam tangisan pilu. Karena itu,
Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah
Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak
mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain
itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah
dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah
Syam. Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan
permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah,
namun Bilal mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku
untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi
jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku
bebas menuju kepada-Nya.” Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.” Bilal
menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan
untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Abu
Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu
Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota
Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga
kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu
dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama. Umar
sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu
besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar
ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya),
"Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya
Bilal).” Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah
sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan
al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu
kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan
tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh
seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air
mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada
masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam..BiIal, "pengumandang seruan langit itu”,
tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. |