Site menu
Tag Board
Our poll
Rate my site
Total of answers: 6
Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Saturday, 27 Apr 2024, 2:03 AM
Welcome Guest

Blog istiqomah cinta

Home » 2010 » March » 16 » Cerpen nie,,,? mau ya,,?hemm hemm


6:07 PM
Cerpen nie,,,? mau ya,,?hemm hemm

DI BAWAH GERIMIS FEBRUARI*

Cerpen Nurul Hasan

 

Sebuah mobil BMW berwarna hitam mengkilat melaju begitu cepat. Hingga kemudian, menubruk sebatang pohon. Mobil itu oleng, sesaat sopirnya membanting setir, ketika melewati sepotong tikungan tajam. Tikungan itu, patah ke kiri. Begitu tajam. Jalan itu seperti berbalik arah. Begitu cepat pula hariku berlalu. Sheila, kekasihku yang tiga hari lalu baru kunikahi itu, lenyap dariku. Dia menghilang setelah peristiwa itu, kecelakaan itu menimpa.

Mobil itu menubruk sebatang pohon besar. Demikian besar. Menurut cerita orang-orang, pohon itu angker. Angker sekali. Pernah, bahkan sering orang-orang melihat pohon itu serupa raksasa. Sesosok raksasa yang begitu menyeramkan, mengerikan. Pernah pula serupa sebutir kepala ular raksasa, lidahnya menjulur, menutup sepotong tikungan itu, seperti sedang menunggu mangsa. Ia kelaparan. Hugh…mengerikan sekali.

Pada tikungan patah itu, tepatnya di bibir jalan, kiri-kanannya terbentang sebaris jurang dalam yang dipenuhi batu-batu. Dalam sekali. Pekat mata, jika kita  memandang ke dalamnya. Serupa sebaris gunung dalam sungai, menghitam. Dan padanya, mengalir sebatang tubuh sungai kecil, anak sungai, begitu tepatnya. Sungai itu, mungkin bermuara ke laut luas, atau mungkin ke samudera lepas. Samudera hindia, pasifik, atau bahkan sekedar laut Jawa saja. Dan banyak lagi kemungkinan lain.

"Bruu…ak, do…ar,” suara tubrukan itu. Kemudian disusul dengan suara letusan ban-bannya. Sepertinya semuanya. Empat kali letusan, begitu yang kudengar kala kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang akhirnya membuatku tidak sadarkan diri, aku pingsan. Aku tidak tahu apa saja yang terjadi setelah itu. Tidak. Kecuali gemeretak tubrukan, yang kemudian diiringi letusan-letusan empat bannnya itu.

"Doar….” Itu saja yang kuingat. Benar, kecelakaan itu berawal dengan olengnya mobil dan menubruk sebatang pohon besar, pohon yang kata orang-orang angker itu, hingga letusan-letusan empat bannya. Hanya itulah yang kuingat….

Ketika itu, Jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul, 21.35 menit. Ruangan, yang di sana tertulis di atas pintu masuk, sebuah keterangan mengenai ruangan itu, ruang UGD atau ruang unit gawat darurat, begitu lengkapnya mengenai ruangan itu. Rupanya aku sedang terbaring di pembaringan ruangan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya, dan memang, aku tidak menginginkannya. Sungguh, tidak pernah terpikirkan olehku sedikitpun, dan juga tidak pernah terlintas di benakku, tidak. Ruang unit gawat darurat. Sungguh begitu gawat, hingga saking gawatnya, tubuhku dipenuhi balutan perban serta berbagai obat-obatan yang aromanya demikian mengganggu pernafasanku. Aku sesak nafas….

 

Terasa ingin kuberteriak, memecah suara, melempar kata-kata yang kemudian tercecer begitu saja. Aku melolong, memanggil-manggil seorang yang begitu berarti dalam hidupku. Mengapa tidak, dia adalah istriku. Istriku… serasa aku gila. Aku terus memanggilnya. Dia yang beberapa saat lalu masih berada di sampingku, bersimpuh di pangkuanku. Dia tampak menawan dan begitu anggun. Cantik nan erotis. Istriku, Sheila.

Sesaat aku tersadar, setelah kecelakaan itu berlalu setelah aku meringkuk dalam balutan perban, aku terbata dan kemudian aku mencoba untuk mencari di setiap sudut ruangan. Nafasku tersengal serupa desah angin kala hujan menderas, lebat. Aku terus mencari, walau toh pada akhirnya, aku tidak menemukan siapapun dalam pencarian itu. Tidak ada siapa-siapa di sekitarku saat itu, tidak. Aku masih saja terbata mencari keberadaan istriku itu, dan aku selalu ingin tahu hingga aku bertanya perihal istriku pada sekalian di sekelilingku, namun sekali lagi, di sana tidak kutemukan siapa-siapa.

Kemudian seorang lelaki paruh baya, yang rambutnya telah memutih, jenggot dan juga kumis tebalnya yang tampak tak terurus itu datang padaku. Semuanya berantakan, bajunya sobek di mana-mana; di punggungnya, di dadanya yang lapang, di sekeliling lehernya dan melebar dari pangkal ketiaknya, hingga ke pangkal pinggangnya. Begitupun celananya yang serupa dengan celana Idrus, yang beberapa kali telah ditambal di bagian pantatnya. Celana itu seperti berkacamata. Ya, dua lingkaran yang tepatnya melingkar di puncak pantat yang di tambal dengan kain-kain  warna yang berlainan. Baju dan celannya penuh jaitan.

Segudang pertanyaan di benakku, yang terus menerus bercongkel, menghantui diriku. Siapa lelaki kumuh, yang menemaniku ini? Apa mungkin ia malaikat, lantas  menyamar rakyat jelata, atau sengaja diutus Tuhan padaku untuk menjagaku. Atau  mungkin juga untuk memata-matai aku. Sabarkah atau bahkan aku berlalu sedih, bahkan ingkar pada-Nya atas semua ini? Atau ia memang hanya manusia biasa. Ya, ia hanya manusia bukan malaikat. Mungkin juga pengamen, pemulung, atau mungkin pengemis jalanan, penghuni kolong-kolong jembatan kota besar itu. Mungkin saja. Tapi entahlah….

Seorang lelaki asing itu. Penampilannya kian kumuh. Dialah yang telah menolongku hingga melarikanku ke rumah sakit ini. Arman, begitu namanya.

"Arman…,” sepertinya nama itu tidak terlalu asing di pendengaranku. Ya, Arman, itu nama lama di antara orang-orang yang kukenal.

"Arman….” Ucapku pelan, mengeja nama itu, lelaki kumuh yang dari tadi membatu di sampingku, di bibir ranjangku. Namun ia hanya termangu, tanpa sepatah kata pun. Kecuali jika aku memulai. Aku pun mencoba beramah-tamah padanya. Dan itu hanya sekedarnya. Tapi, Arman tidak bisu. Arman masih bisa berucap, meracik kata-kata, hingga melemparnya ke muka siapa-siapa saja. Termasuk ke mukaku. Arman adalah putra tunggal mantan Direktur CV. Senayan Baru, Ir. Akiong Jhe. Pak Jhe, begitu orang-orang memanggilnya.

"Arman putra mahkota….” Celetuk orang-orang di serambi ketika senja berebahan di perapian rumah mereka.

Namun, karena perbedaan keyakinan. Kepercayaan atas Tuhan, akhirnya meyingkirkan Arman dari keluarga besarnya. Keluarga berdarah biru, keluarga besar Juragan tanah. Dan kini, ia adalah seorang mu’allaf. Benar, begitulah obituari hidupnya. Keyakinan baru di dadanya itulah yang menyingkirnya dari kehidupan keluarga besarnya itu. Ia meninggali Ayah-Ibunya, dan semua yang berhubungan dengan keluarganya; mobil pribadinya, Hp, rumah pribadi, yang baru saja dibangun khusus untuknya di bilangan Depati Amir di sekitar lingkungan kantor Walikota. Ia tinggalkan semua. Termasuk keluarganya.

Arman, seorang mua’llaf yang terus mengembara, mencari jati diri. Ia putuskan untuk pergi jauh dari keluarganya itu.

"Lakum dinukum wa liyadin; untukmu agamamu, untukku agamaku,” lirih ucap Arman di sela-sela gontai langkah kakinya. Sebaris kalimat yang ia dapat dari seorang Ustadz, yang mengajarkannya bersyahadat, beriman kepada Allah, Usatadz Dhaif,  begitu namanya.

"Man, segera angkat kaki dari rumah ini, dan jangan pernah kembali ke sini lagi, jangan.” Ucap kakaknya meninggi, seakan memecah langit.

"Ya, Man, kau telah mencemarkan nama baik keluarga, menginjak martabat keluarga kita,” ucap yang lain. Semua benci padanya. Semua menyuruhnya pergi.

"Pergi….”

Arman pergi, berlalu dengan selembar kaos tipis, berwarna hijau lumut dan sepotong celana seperempat keabu-abuan. Ia terus melangkah. Melangkah dengan keyakinan baru, kuat. Ia terus berlalu. Ya, pakaian serupa itulah yang ia kenakan kala menemaniku, di ruang unit gawat darurat saat itu. Pakaian itu, telah demikian lusuh. Terukir sobekan di sana-sini. Menyedihkan sekali.

Aku masih saja bimbang. Aku telah mencoba menatap mata bulatnya, matanya teduh. Namun aku tidak menemukan siapapun di sana. Tidak. Matanya selalu menyiratkan kelelehan pengembaraan.

"Mana istriku, kenapa dia?” tanyaku memaksa, seraya kutatap tajam mata yang sayu itu.

"Aku hanya melihat kamu di tikungan itu. Kau bersimbah darah. Kulit-kulitmu penuh pecahan kaca. Kau terbaring lemah. Kau pingsan. Di sana, di tikungan  itu tidak kutemukan yang lain. Tidak. Bahkan bangkai mobilmu pun tidak kutemukan. Entahlah… apa yang terjadi pada istrimu, juga Saini, pamanmu itu. Entah….” Matanya tertuju ke bawah pembaringanku. Dia tidak melihat ke arahku.

Di awal februari lalu, kala gerimis mulai menghiasi langit, membasahi tanah perinjakan, mengalir di tubuh-tubuh sungai hingga bermuara di samudera lepas. Aku menikahi Sheila. Kami menikah, menjalin hubungan yang lebih serius, setelah sekian lama kami telah saling berkenalan, ta’arruf, begitu katanya. Aku dan Sheila Mawaddah telah berumah tangga.

Sabath merah, begitu orang-orang di kampungku menyebut hari sabtu awal bulan. Sabtu, tanggal empat Februari itu, telah kami gelar sebuah ritual keagamaan, resepsi pernikahanku dengan Sheila. Resepsi itu digelar di bawah gerimis, di rumah pamanku, Saini, adek kedua Ibuku, setelah Bibi Hos yang bersuamikan lelaki keturunan Hitler, atau mungkin Lenin. Ya, Mr. Gerad. Ia berasal dari Jerman, Negara basis Nazisme, ataupun Negara Panser, begitu kata para gibol, serta kanak-kanak sekolah tingkat pertama.

Di bawah gerimis yang demikian manis itu, aku begitu bahagia. Terasa lapang nan indah hidupku. Barang tentu, Sheila pun begitu. Kami seakan menghirup nafas hidup kehidupan baru.

Rabu, lima hari setelah resepsi pernikahan itu digelar, aku dan Sheila berbulan madu. Sampai akhirnya, kami memutuskan Villa paman Sainilah, tempat yang cocok untuk berbulan madu, bercinta tepatnya. Villa itu mewah, benar-benar mewah,  terletak di kaki gungung Mars. Gunung Mars, indah nan menawan. Dan paman Saini juga yang mengantarkan kami ke Villa yang katanya jarang di tempati itu, kecuali dua hari seminggu. Setiap hari senin dan selasa Pak. Romli, tukang kebunnya datang untuk bersih-bersih, sekedar berbenah begitu tepatnya.

Ya, Paman Sainilah yang mengantarkan kami hari itu. Beliau begitu senang dengan Sheila, istriku itu.

"Pintar kau memilih pendamping hidup, San. Perempuan jelita serupa Sheila, cantik bak tujuh bidadari Jaka Tarub. Benar-benar cocok untukmu, San.” Ungkap paman Saini seraya terkekeh beberapa malam lalu, di bawah temaram lampu, di bawah gerimis yang mengerlap-kerlip bagai bebutiran mutiara, di luar jendela kamar.  Tampak bergelantungan di etalase-etalase pertokoan batik milik Wak Zamah itu. Begitu anggun.

Setengah perjalanan sudah, tepat di sepotong tikungan yang tampak berbalik itu, kecelakaan yang tidak kuinginkan itu terjadi. BMW hitam yang membawaku dan Sheila yang merengkuh erat di pelukanku itu oleng, hingga akhirnya menubruk sebatang pohon besar. Pohon yang oleh masyarakat setempat dikatakan angker. Angker memang. Masyarakat Cekong Abang. Itu saja yang dapat kuingat; keras histeris teriakan Sheila, ia ketakutan.

"Brua…k,” bunyi tubrukan mobil itu, serta empat kali letusan bannya, itu saja.

”Duar… por… po…r,” letusan itu.

Aku telah terbangun dari pingsan setelah kecelakaan itu. Aku tidak lagi menemukan tatapan indah istriku, Sheila Mawaddah. Ia hilang pada kecelakaan itu. Besar kemungkinan, Sheila dan paman Saini yang menyetir kala itu, serta mobilnya terjatuh, terlempar ke gua yang menghitam di dasar jurang yang memanjang itu. Begitulah dugaan orang-orang. Sebab kala itu, tikungan itu begitu licin, tersebab gerimis februari yang terus menggaris langit. Melukis awan kelabu dengan bias air serupa mutiara-mutiara berkerlipan. Mutiara yang indah, berkilapan, begitu menawan. Secepat itukah aku kehilangannya. Secepat membalik telapak tangan, secepat mengerdip bola mata. Begitu cepat.    

"Sheila… di mana kau, sayang. Aku rindu….”

"Benarkah, Sheila terjatuh ke jurang itu. Benarkah…?” nafasku sesak, seperti terhalang batu-batu atau mungkin sekumpulan duri. Tajam menyiratkan kepedihan. Aku terengah-engah, mataku menatap kosong ke seluruh sudut ruangan aku terbaring. Aku masih tidak percaya. Benarkah aku telah kehilangan orang yang teramat aku sayangi?

"Benarkah istriku….” Suaraku tertahan, lantas aku mendesah panjang.

"Sheila… di mana kau sayang. Aku merindukanmu….” Histerisku memaksa kata-kata yang menyumpat di kerongkongan.

"Sheila, istriku… aku….”

 

SSA, 2009

 

* Judul Puisi Soni Farid Maulana.

Views: 1571 | Added by: suhadi | Tags: istiqomahcinta.co.cc | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Log In
Search
Calendar
«  March 2010  »
SuMoTuWeThFrSa
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031
Entries archive
Site friends
  • uCoz Community
  • uCoz Manual
  • Video Tutorials
  • Official Template Store
  • Best uCoz Websites