Sebuah mobil BMWberwarna hitam mengkilat
melaju begitu cepat. Hingga kemudian, menubruk sebatang pohon. Mobil itu oleng,
sesaat sopirnya membanting setir, ketika melewati sepotong tikungan tajam.
Tikungan itu, patah ke kiri. Begitu tajam. Jalan itu seperti berbalik arah.
Begitu cepat pula hariku berlalu. Sheila, kekasihku yang tiga hari lalu baru
kunikahi itu, lenyap dariku. Dia menghilang setelah peristiwa itu, kecelakaan
itu menimpa.
Mobil itu
menubruk sebatang pohon besar. Demikian besar. Menurut cerita orang-orang,
pohon itu angker. Angker sekali. Pernah, bahkan sering orang-orang melihat
pohon itu serupa raksasa. Sesosok raksasa yang begitu menyeramkan, mengerikan.
Pernah pula serupa sebutir kepala ular raksasa, lidahnya menjulur, menutup
sepotong tikungan itu, seperti sedang menunggu mangsa. Ia kelaparan.
Hugh…mengerikan sekali.
Pada
tikungan patah itu, tepatnya di bibir jalan, kiri-kanannya terbentang sebaris
jurang dalam yang dipenuhi batu-batu. Dalam sekali. Pekat mata, jika kitamemandang ke dalamnya. Serupa sebaris gunung
dalam sungai, menghitam. Dan padanya, mengalir sebatang tubuh sungai kecil,
anak sungai, begitu tepatnya. Sungai itu, mungkin bermuara ke laut luas, atau
mungkin ke samudera lepas. Samudera hindia, pasifik, atau bahkan sekedar laut
Jawa saja. Dan banyak lagi kemungkinan lain.
"Bruu…ak,
do…ar,” suara tubrukan itu. Kemudian disusul dengan suara letusan ban-bannya.
Sepertinya semuanya. Empat kali letusan, begitu yang kudengar kala kecelakaan
itu terjadi. Kecelakaan yang akhirnya membuatku tidak sadarkan diri, aku
pingsan. Aku tidak tahu apa saja yang terjadi setelah itu. Tidak. Kecuali
gemeretak tubrukan, yang kemudian diiringi letusan-letusan empat bannnya itu.
"Doar….” Itu
saja yang kuingat. Benar, kecelakaan itu berawal dengan olengnya mobil dan
menubruk sebatang pohon besar, pohon yang kata orang-orang angker itu, hingga
letusan-letusan empat bannya. Hanya itulah yang kuingat….
Ketika itu,
Jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul, 21.35 menit. Ruangan, yang di sana tertulis di atas
pintu masuk, sebuah keterangan mengenai ruangan itu, ruang UGD atau ruang unit
gawat darurat, begitu lengkapnya mengenai ruangan itu. Rupanya aku sedang
terbaring di pembaringan ruangan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya, dan
memang, aku tidak menginginkannya. Sungguh, tidak pernah terpikirkan olehku
sedikitpun, dan juga tidak pernah terlintas di benakku, tidak. Ruang unit gawat
darurat. Sungguh begitu gawat, hingga saking gawatnya, tubuhku dipenuhi balutan
perban serta berbagai obat-obatan yang aromanya demikian mengganggu
pernafasanku. Aku sesak nafas….
Terasa ingin
kuberteriak, memecah suara, melempar kata-kata yang kemudian tercecer begitu
saja. Aku melolong, memanggil-manggil seorang yang begitu berarti dalam
hidupku. Mengapa tidak, dia adalah istriku. Istriku… serasa aku gila. Aku terus
memanggilnya. Dia yang beberapa saat lalu masih berada di sampingku, bersimpuh
di pangkuanku. Dia tampak menawan dan begitu anggun. Cantik nan erotis.
Istriku, Sheila.
Sesaat aku
tersadar, setelah kecelakaan itu berlalu setelah aku meringkuk dalam balutan
perban, aku terbata dan kemudian aku mencoba untuk mencari di setiap sudut
ruangan. Nafasku tersengal serupa desah angin kala hujan menderas, lebat. Aku
terus mencari, walau toh pada akhirnya, aku tidak menemukan siapapun dalam
pencarian itu. Tidak ada siapa-siapa di sekitarku saat itu, tidak. Aku masih
saja terbata mencari keberadaan istriku itu, dan aku selalu ingin tahu hingga
aku bertanya perihal istriku pada sekalian di sekelilingku, namun sekali lagi,
di sana tidak
kutemukan siapa-siapa.
Kemudian
seorang lelaki paruh baya, yang rambutnya telah memutih, jenggot dan juga kumis
tebalnya yang tampak tak terurus itu datang padaku. Semuanya berantakan, bajunya
sobek di mana-mana; di punggungnya, di dadanya yang lapang, di sekeliling
lehernya dan melebar dari pangkal ketiaknya, hingga ke pangkal pinggangnya. Begitupun
celananya yang serupa dengan celana Idrus, yang beberapa kali telah ditambal di
bagian pantatnya. Celana itu seperti berkacamata. Ya, dua lingkaran yang
tepatnya melingkar di puncak pantat yang di tambal dengan kain-kain warna yang berlainan. Baju dan celannya penuh
jaitan.
Segudang
pertanyaan di benakku, yang terus menerus bercongkel, menghantui diriku. Siapa
lelaki kumuh, yang menemaniku ini? Apa mungkin ia malaikat, lantas menyamar rakyat jelata, atau sengaja diutus
Tuhan padaku untuk menjagaku. Atau mungkin juga untuk memata-matai aku. Sabarkah
atau bahkan aku berlalu sedih, bahkan ingkar pada-Nya atas semua ini? Atau ia
memang hanya manusia biasa. Ya, ia hanya manusia bukan malaikat. Mungkin juga pengamen,
pemulung, atau mungkin pengemis jalanan, penghuni kolong-kolong jembatan kota besar itu. Mungkin
saja. Tapi entahlah….
Seorang lelaki
asing itu. Penampilannya kian kumuh. Dialah yang telah menolongku hingga
melarikanku ke rumah sakit ini. Arman, begitu namanya.
"Arman…,”
sepertinya nama itu tidak terlalu asing di pendengaranku. Ya, Arman, itu nama
lama di antara orang-orang yang kukenal.
"Arman….” Ucapku
pelan, mengeja nama itu, lelaki kumuh yang dari tadi membatu di sampingku, di
bibir ranjangku. Namun ia hanya termangu, tanpa sepatah kata pun. Kecuali jika
aku memulai. Aku pun mencoba beramah-tamah padanya. Dan itu hanya sekedarnya. Tapi,
Arman tidak bisu. Arman masih bisa berucap, meracik kata-kata, hingga
melemparnya ke muka siapa-siapa saja. Termasuk ke mukaku. Arman adalah putra
tunggal mantan Direktur CV. Senayan Baru, Ir. Akiong Jhe. Pak Jhe, begitu orang-orang
memanggilnya.
"Arman putra
mahkota….” Celetuk orang-orang di serambi ketika senja berebahan di perapian
rumah mereka.
Namun, karena
perbedaan keyakinan. Kepercayaan atas Tuhan, akhirnya meyingkirkan Arman dari
keluarga besarnya. Keluarga berdarah biru, keluarga besar Juragan tanah. Dan kini, ia adalah seorang mu’allaf. Benar, begitulah obituari hidupnya. Keyakinan baru di
dadanya itulah yang menyingkirnya dari kehidupan keluarga besarnya itu. Ia
meninggali Ayah-Ibunya, dan semua yang berhubungan dengan keluarganya; mobil
pribadinya, Hp, rumah pribadi, yang baru saja dibangun khusus untuknya di
bilangan Depati Amir di sekitar lingkungan kantor Walikota. Ia tinggalkan
semua. Termasuk keluarganya.
Arman,
seorang mua’llaf yang terus
mengembara, mencari jati diri. Ia putuskan untuk pergi jauh dari keluarganya
itu.
"Lakum dinukum wa liyadin; untukmu agamamu,
untukku agamaku,” lirih ucap Arman di sela-sela gontai langkah kakinya. Sebaris
kalimat yang ia dapat dari seorang Ustadz, yang mengajarkannya bersyahadat,
beriman kepada Allah, Usatadz Dhaif, begitu namanya.
"Man, segera
angkat kaki dari rumah ini, dan jangan pernah kembali ke sini lagi, jangan.”
Ucap kakaknya meninggi, seakan memecah langit.
"Ya, Man,
kau telah mencemarkan nama baik keluarga, menginjak martabat keluarga kita,”
ucap yang lain. Semua benci padanya. Semua menyuruhnya pergi.
"Pergi….”
Arman pergi,
berlalu dengan selembar kaos tipis, berwarna hijau lumut dan sepotong celana
seperempat keabu-abuan. Ia terus melangkah. Melangkah dengan keyakinan baru, kuat.
Ia terus berlalu. Ya, pakaian serupa itulah yang ia kenakan kala menemaniku, di
ruang unit gawat darurat saat itu. Pakaian itu, telah demikian lusuh. Terukir
sobekan di sana-sini. Menyedihkan sekali.
Aku masih
saja bimbang. Aku telah mencoba menatap mata bulatnya, matanya teduh. Namun aku
tidak menemukan siapapun di sana.
Tidak. Matanya selalu menyiratkan kelelehan pengembaraan.
"Mana
istriku, kenapa dia?” tanyaku memaksa, seraya kutatap tajam mata yang sayu itu.
"Aku hanya
melihat kamu di tikungan itu. Kau bersimbah darah. Kulit-kulitmu penuh pecahan
kaca. Kau terbaring lemah. Kau pingsan. Di sana, di tikunganitu tidak kutemukan yang lain. Tidak. Bahkan
bangkai mobilmu pun tidak kutemukan. Entahlah… apa yang terjadi pada istrimu,
juga Saini, pamanmu itu. Entah….” Matanya tertuju ke bawah pembaringanku. Dia
tidak melihat ke arahku.
Di awal
februari lalu, kala gerimis mulai menghiasi langit, membasahi tanah perinjakan,
mengalir di tubuh-tubuh sungai hingga bermuara di samudera lepas. Aku menikahi
Sheila. Kami menikah, menjalin hubungan yang lebih serius, setelah sekian lama
kami telah saling berkenalan, ta’arruf,
begitu katanya. Aku dan Sheila Mawaddah telah berumah tangga.
Sabath
merah, begitu orang-orang di kampungku menyebut hari sabtu awal bulan. Sabtu, tanggal
empat Februari itu, telah kami gelar sebuah ritual keagamaan, resepsi
pernikahanku dengan Sheila. Resepsi itu digelar di bawah gerimis, di rumah
pamanku, Saini, adek kedua Ibuku, setelah Bibi Hos yang bersuamikan lelaki
keturunan Hitler, atau mungkin Lenin. Ya, Mr. Gerad. Ia berasal dari Jerman,
Negara basis Nazisme, ataupun Negara Panser,
begitu kata para gibol, serta kanak-kanak sekolah tingkat pertama.
Di bawah
gerimis yang demikian manis itu, aku begitu bahagia. Terasa lapang nan indah
hidupku. Barang tentu, Sheila pun begitu. Kami seakan menghirup nafas hidup
kehidupan baru.
Rabu, lima hari setelah resepsi
pernikahan itu digelar, aku dan Sheila berbulan madu. Sampai akhirnya, kami
memutuskan Villa paman Sainilah, tempat yang cocok untuk berbulan madu,
bercinta tepatnya. Villa itu mewah, benar-benar mewah, terletak di kaki gungung Mars. Gunung Mars,
indah nan menawan. Dan paman Saini juga yang mengantarkan kami ke Villa yang
katanya jarang di tempati itu, kecuali dua hari seminggu. Setiap hari senin dan
selasa Pak. Romli, tukang kebunnya datang untuk bersih-bersih, sekedar berbenah
begitu tepatnya.
Ya, Paman
Sainilah yang mengantarkan kami hari itu. Beliau begitu senang dengan Sheila,
istriku itu.
"Pintar kau
memilih pendamping hidup, San. Perempuan jelita serupa Sheila, cantik bak tujuh
bidadari Jaka Tarub. Benar-benar cocok untukmu, San.” Ungkap paman Saini seraya
terkekeh beberapa malam lalu, di bawah temaram lampu, di bawah gerimis yang
mengerlap-kerlip bagai bebutiran mutiara, di luar jendela kamar. Tampak bergelantungan di etalase-etalase
pertokoan batik milik Wak Zamah itu. Begitu anggun.
Setengah
perjalanan sudah, tepat di sepotong tikungan yang tampak berbalik itu, kecelakaan
yang tidak kuinginkan itu terjadi. BMW hitam yang membawaku dan Sheila yang merengkuh
erat di pelukanku itu oleng, hingga akhirnya menubruk sebatang pohon besar.
Pohon yang oleh masyarakat setempat dikatakan angker. Angker memang. Masyarakat
Cekong Abang. Itu saja yang dapat kuingat; keras histeris teriakan Sheila, ia
ketakutan.
"Brua…k,”
bunyi tubrukan mobil itu, serta empat kali letusan bannya, itu saja.
”Duar… por…
po…r,” letusan itu.
Aku telah
terbangun dari pingsan setelah kecelakaan itu. Aku tidak lagi menemukan tatapan
indah istriku, Sheila Mawaddah. Ia hilang pada kecelakaan itu. Besar
kemungkinan, Sheila dan paman Saini yang menyetir kala itu, serta mobilnya
terjatuh, terlempar ke gua yang menghitam di dasar jurang yang memanjang itu.
Begitulah dugaan orang-orang. Sebab kala itu, tikungan itu begitu licin,
tersebab gerimis februari yang terus menggaris langit. Melukis awan kelabu
dengan bias air serupa mutiara-mutiara berkerlipan. Mutiara yang indah,
berkilapan, begitu menawan. Secepat itukah aku kehilangannya. Secepat membalik
telapak tangan, secepat mengerdip bola mata. Begitu cepat.
"Sheila… di
mana kau, sayang. Aku rindu….”
"Benarkah,
Sheila terjatuh ke jurang itu. Benarkah…?” nafasku sesak, seperti terhalang
batu-batu atau mungkin sekumpulan duri. Tajam menyiratkan kepedihan. Aku
terengah-engah, mataku menatap kosong ke seluruh sudut ruangan aku terbaring.
Aku masih tidak percaya. Benarkah aku telah kehilangan orang yang teramat aku
sayangi?
"Benarkah
istriku….” Suaraku tertahan, lantas aku mendesah panjang.
"Sheila… di
mana kau sayang. Aku merindukanmu….” Histerisku memaksa kata-kata yang
menyumpat di kerongkongan.