HUJAN DAN SEIKAT SERUNI
Cerpen Nurul Hasan
Susut harum seruni, masih jelas meronda di seluruh ruangan
rumah kami, juga halaman masih berserakan dengan susut harum bunga itu pula,
seruni. Kemudian, hanyut bersama kumpulan air hujan tahun baru ini.
Bulan yang semalaman telah dinas keliling, berbagi dengan
bumi, telah ke peraduannya kembali. Seperti biasa, seperti hari-hari yang lalu,
bulan selalu saja berbagi tugas dan waktu dinas dengan matahari. Jika bulan
datang pada pekat malam gulita, matahari
datang pertanda fajar yang selalu menyapa.
Di luar sana,
angin berkelindan, menghembus warna susut harum bunga, campur beludru airmata.
Di antara susut bunga dan beludru air mata itu, mengalir segumpal mendung yang
menyiratkan rintik kerinduan rumput-rumput di lapangan sepak bola biasa kami
bermain.
"Sebentar lagi hujan turun,” desisku dalam hati.
Tersadar aku menangkap sesuatu pada pendengaranku, suara
riuh kanak-kanak.
"Uji, hujan sudah turun. Ayo kita main bola,” ajak salah
seorang dari segerombolan kanak-kanak, yang baru dapat mengeja huruf-huruf
hijaiyah. Alif, ba’, ta’, tsa’….
"Ayo Uji. Cepat ganti,” sambung yang lain.
Main bola kala hujan menderas adalah kebiasaanku, Ujo,
kembaranku serta kawan-kawan sebayaku di desa Paya Benua ini. Kami sangat bahagia,
bukan sekedar main bola saja, tapi kami juga bermain butir-butir hujan yang
mengkristal di punggung-punggung daun pandan di setiap sudut rumah warga.
Bersama derap langkah kanak-kanak, yang saling mencipta
pelangi dalam sebaris tawa bahagia itu, aku tetap terlarut berkabung dalam
susut harum setangkai seruni, yang terus berdesak-desakan di setiap desau angin,
yang mengalir bersama desah nafasku di antara deras hujan tahun baru. Di
semerbak tanaman yang juga berserakan harum seruni.
Di sebuah hujan yang lebat, ketika kami seperti biasa,
bermain sepak bola, juga bermain kristal-kristal lembut di punggung-punggung
daun pandan ibu-ibu warga desa. Sebuah peristiwa, telah berhasil membuatku diam
bagai batu, tetapi tidak ada air setetes pun yang mengalir di atasku. Hujan itu,
air berlarian, mengombak di parit-parit depan rumah di pinggir jalan raya.
"Agh… Kak…, tolong… to….” Suara Ujo, adik kembarku setengah
berteriak.
"Ujo…,” ucapku berteriak. Terasa sebongkah kerikil menutup
kerongkonganku. Namun, tidak banyak yang dapat aku lakukan. Kakiku gemetar,
tampak tulang-tulang serta persendianku tidak lagi mampu menopang tubuhku yang
kecil dan kerdil ini. Aku tersedak, nafasku terasa sempit melihat Ujo, adik
kembarku terseret gulungan air keruh hitam kecoklatan masuk ke gorong-gorong
parit sepanjang dua meter, tepat di depan rumah kami.
"Ujo…,” lirih ucapku, seraya kristal bening sesejuk embun di
punggung-punggung daun mengalir dan hanyut di parit pelipisku.
"Ada
apa Ji, kenapa kamu menangis?” tanya seorang dari belakangku dan aku terus
menunduk tidak menoleh, tanpa ingin tahu siapa sesosok yang datang di tengah
kelabunya keadaanku saat itu.
"Ujo, Ujo…, to…, tolong Ujo,” ucapku putus-putus, nafasku
terengah-engah.
"Kenapa Ji, ada apa dengan Ujo dan kemana dia sekarang?”
terasa semakin sempit hatiku mendengar pertanyaan yang hampir tidak bisa aku
jawab itu.
"Ji, ini Ayah. Mana Ujo,” kembali sebuah tanya menyempitkan
hatiku dari seorang yang mengaku Ayahku. Aku semakin lemas, tidak berdaya.
Seluruh tubuhku gemetar.
"Ayah… Ujo…,” jawabku diantara gemetar tubuhku yang begitu
lemas. Terasa tidak sebatang tulang pun lagi yang menyangga tubuhku. Airmata
meresap, mengalir bersama keringat yang mengucur dari pintu-pintu kulitku,
sedikit mengombak seperti air yang mengalir yang menyeret sebatang tubuh
adikku, Ujo di gorong-gorong jembatan itu.
"Ujo dimakan air di parit itu, Yah.” Suaraku tetap gemetar.
"Apa…, terseret air, di mana Nak,” cetus ayah, seraya
kristal-kristal bening di matanya pecah kembali, setelah bertahun-tahun lalu
membeku diantara desah nafas kehidupan tampak gagap suara Ayah.
"Di mana adikmu, Nak. Di mana….” Tanya Ayah mendesak kaget. Kali
ini, Ayah benar-benar telah dikuasai segumpal kecemasan serta rasa takut.
"Masih dalam gorong-gorong jembatan itu, Yah,” seraya aku
mengarahkan telunjukku ke arah gorong-gorong itu. Di sana masih tampak antrian ketat serupa
antrian warga di awal bulan, ketika mengambil jatah subsidi bahan bakar.
Setelah antrian itu tampak lengang, hingga mencipta ruang diantara
gelombang air pekat kecoklatan itu, aku semakin tidak berdaya. Terasa aku telah
dikuasai oleh segala asa, sehingga membuat tulangku tidak mampu lagi menopang
tubuhku yang kurus, seakan diterbangkan
angin yang lewat bersama rintik hujan tahunbaru ini.
"Ujo…, ini Ayah, Nak. Ini Ayah,” histeris Ayahku. Tapi Ujo
tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Kulihat
wajahnya telah semakin susut, walau mengalir darah segar dari hidungnya. Tangannya
serta seluruh tubuhnya lunglai.
"Nak…, innalillah… wa
inna ilaihi roji’un…, ” histeris suara ayah menambah tubuhku semakin tidak
kuasa. Namun, Uji hanya mengisyaratkan kedamaian di wajahnya yang telah begitu
susut. Sedang aku tersentak, sempurnalah kini deritaku. Benar-benar aku tidak
kuasa, terasa seluruh persendian melepaskan tulang-tulang yang menyangga
sebatang tubuhku. Ya, telah terjadi sebuah perceraian yang sakral, perceraian
antara tulang serta persendian.
Tidak hanya itu, sayu mataku. Hanya ada ruang lengang yang
tidak mengisyaratkan liar angin ataupun tarian daun-daun pandan. Ujo, Adik kembarku
yang barang tentu adalah seorang kawanku dalam setiap desah nafas hari. Kami selalu
berlari mengeja kehidupan. Hujan kembali terisak lebat serupa dulu. Namun,
seberkas cahaya halilintar, serta suara dentum petirlah yang sedikit berbeda. Hari
ini, hari keempat puluh setelah peristiwa itu terjadi. Tepat benar, empat puluh
hari di hari hujan mengisyak. Namun susut harum seruni tetap meronda di setiap
ruangan rumah kami. Dan terus berdesakan
diantara tanaman di halaman depan rumah. Lebih-lebih, jika angin saling
berkejaran menghanyutkan warna susut seruni juga beludru airmata.
"Satu diantara dua saudara kembar itu, pasti cepat
meninggal!” aku mengulang-ulang sebaris kalimat yang kudapat di teras rumah
tetangga kami. Tapi bernarkah? Dan kenapa harus Ujo, bukan aku? Ujo terlalu
baik dan terlalu cepat waktu itu untuknya, Tuhan.
"Uji…, ayo ke lapangan. Teman-teman sudah menunggu!” suara
Ade dari halaman depan rumah. Tapi aku tidak menggubris seruan itu. Aku hanyut
dalam desakan susut harum seruni.
"Kalau ada Ujo…,” desisku menggantung.
"Nak, Ade nunggu kamu di depan. Main sepak bola katanya,” seru
Ibu dari balik tembok kamarku. Tetapi, aku tetap hanyut dalam desakan seruni.
"Aku tidak suka main bola, Bu,” ucapku sekedar menjawab
seruan Ibu.
Kulihat di luar jendela kamarku, hujan semakin menderas,
susut harum seruni pun tetap saja meronda diantara gemericik isakan itu. Aku
mencoba tersenyum diantara rintik hujan tahun baru itu. Aku terus mencoba.
"Ujo… Adikku!”
21 Desember 2009
|