Keadilan ilahi merupakan salah satu dari
permasalahan yang sangat urgen dalam akidah dan teologi. Keadilan sebagaimana
halnya dengan tauhid merupakan salah satu pembahasan sifat Allah. Akan
tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini sifat tersebut sehingga
memiliki tempat khusus dalam pembahassan akidah dan teologi Islam. Karena
urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu dari rukun-rukun iman (ushuluddin)
yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab (ushulul mazhab) disamping
rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian, keimamahan, eskatologi
(ma'ad, hari akhirat), dan tidak disanksikan lagi bahwa posisi yang
penting ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas,
penerimaan atasnya memiliki peran yang sangat penting terhadap pandangan kita
terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan
ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem
penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri'i),
penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita
terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab
akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi
semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha
dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku
manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas
kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.
Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi
terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan
perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi,
sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan
keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan
Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah
pandangan para pendukung Muawiyyah.
Teolog Imamiah dan teolog Muktazilah mengikuti
jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada
akhirnya terkenal sebagai kelompok 'Adliyyah yang berseberangan dengan
kelompok Asy'ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi,
Asy'ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam
pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan
memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu
adalah keadilan itu sendiri.
sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan
dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan
cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw,
dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka
kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan
ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah
pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai
posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.
Hubungan Hikmah dan Keadilan
Dalam pembahasan hikmah Ilahi kami katakan bahwa
salah satu makna hikmah adalah menghindarkan pelaku dari perbuatan buruk dan
jahat. Inilah salah satu makna dari himkah dimana keadilan juga termasuk
di dalamnya, karena keadilan tidak sejalan dengan kezaliman dan perbuatan baik
tidak searah dengan perbuatan buruk. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
sifat adil merupakan salah satu ranting dari sifat hikmah Tuhan.
Asas Keadilan Berpijak pada Kebaikan dan Keburukan
dalam Penilaian Akal
Salah satu dasar yang paling penting terhadap keyakinan pada keadilan Ilahi
(yakni seluruh perbuatan Tuhan adalah adil) adalah konsep kebaikan dan
keburukan dalam penilaian akal. Perlu kami tegaskan disini bahwa
berdasarkan perspektif kebaikan dan keburukan dalam penilaian rasio, akal
manusia secara mandiri mampu menentukan sebagian kebaikan dan keburukan, akal
bisa menjadi hakim atas perbuatan tersebut. Penilaian akal ini, apabila
hakikat dan zat perbuatan itu sendiri dilepaskan dari syarat-syarat,
tempat, dan waktu yang berbeda serta tanpa mengaitkan dengan pelaku perbuatan
tertentu, maka perbuatan Tuhan juga termasuk di dalamnya.
Oleh karena itu, keadilan dan kezaliman pada
hakikatnya sudah pasti memiliki aspek kebaikan dan keburukan. Akal manusia bisa
memahami kebaikan dan keburukan tersebut. Yakni akal manusia secara umum bisa
memahamiya. Keadilan dan pelakunya adalah perbuatan baik, dan kezaliman dan
kejahatan secara mutlak adalah jelek, ketika Tuhan yang memiliki sifat hakim
(bijaksana) suci dari perbuatan buruk, akal pun mampu mencerna bahwa Tuhan
tidak akan mungkin melakukan perbuatan zalim dan seluruh perbuatan Tuhan pasti
berdasarkan pada keadilan.
Atas dasar adanya hubungan inilah para penentang
konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian rasio tidak memiliki dasar
pemikiran yang kokoh dan argumentatif untuk menolak sifat adil, dan mereka
meyakini bahwa perbuatan yang menurut akal adalah tidak adil, terdapat
kemungkinan bahwa Tuhan juga bisa melakukan perbuatan tersebut.
Makna Adil
Pada kesempatan ini akan kami paparkan makna
keadilan itu sendiri secara lebih terperinci. Kata "adil" memiliki
banyak makna dan digunakan pada posisi yang berbeda-beda. Sebagian dari makna
adil yang dianggap penting adalah sebagai berikut.
Menjaga persamaan
dan menghindari pembedaan.
Terkadang yang dimaksud dengan keadilan adalah seseorang tidak
membeda-bedakan dengan yang lain dan melihat bahwa tidak ada perbedaan sama
sekali dengan yang lain serta melihat bahwa dia dengan orang lain memiliki
derajat yang sama dan menghindari segala bentuk pembedaan. Akan tetapi,
kita semestinya tidak lupa bahwa menjaga persamaan hanya bisa diterima ketika
tidak ada perbedaan sama sekali antara kelayakan dan kebutuhan-kebutuhan
mendasar. Akan tetapi, jika berhadapan dengan masyarakat yang dari segi
kelayakan dan kebutuhan yang berbeda-beda dan tingkat kebutuhan yang
bertingkat-tingkat, menetapkan persamaan di antara mereka justru berarti tidak
adil. Bahkan bisa bermakna membatasi hak orang yang lebih memiliki kelayakan.
Sebagai contoh, jika seorang dosen demi menjaga keadilan dan persamaan
memberikan nilai yang sama kepada seluruh mahasiswanya, maka pada dasarnya dia
tidak menerapkan keadilan. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa keadilan
bukan persamaan.
Menjaga hak orang
lain. Adil dalam makna ini adalah menjaga seluruh hak orang lain dan
kezaliman adalah membatasi dan menghalangi hak orang lain.
Menempatkan dan meletakkan
seseorang atau sesuatu sesuai dengan posisi dan tempat yang layak
untuknya. Terkadang makna adil memiliki makna yang lebih luas yaitu
meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisinya, defenisi ini bisa kita
temukan dalam perkataan Imam Ali As, dia bersabda, "meletakkan segala
sesuatu sesuai dengan posisinya.
Makna perkataan agung itu adalah di dalam alam takwini
dan tasyri'i segala sesuatu memliki posisi dan kedudukan sesuai
dengan kelayakan dirinya, dan keadilan adalah menjaga posisi tersebut dan meletakkan
segala sesuatu sesuai dengan kelayakannya. Makna inilah yang paling luas dan
paling sempurna dari makna keadilan dan juga mencakup makna keadilan sebelumnya.
Oleh karena itu, sebagaimana telah kami jelaskan bahwa makna secara
umum keadilan Tuhan adalah Tuhan memperlakukan segala sesuatu sebagaimana
selayaknya dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukannya serta memberikan
kepada yang berhak hak-hak yang seharusnya dia dapatkan.
Pembagian Umum Keadilan Tuhan
Dengan memperhatikan cakupan dan strata
keadilan Tuhan, kita bisa membagi secara umum keadilan Tuhan:
·Keadilan takwini (berkaitan dengan
penciptaan). Tuhan memberikan nikmat kepada seluruh eksistensi sesuai dengan
kapasitas, potensi, dan kapabilitasnya serta tak satupun potensi (isti'dad)
terlarang menerima rahmat dan nikmat Tuhan tersebut. Dengan kata lain, Tuhan
Yang Maha Tinggi memberikan nikmatnya kepada seluruh makhluk berdasarkan
potensi, kapasitas dan kapabiltas makhluk tersebut, dan seluruh makhluk
mencapai kesempurnaan sesuai dengan standar potensi, kapasitas dan kapabiltas
mereka sendiri.
·Keadilan tasyri'i (berkaitan dengan
petunjuk dan hukum agama). Tuhan pada satu sisi tidak mengabaikan, tidak lalai,
dan semena-mena dalam menetapkan kewajiban dan membuat hukum yang menjadi jalur
untuk pencapaian kesempurnaan manusia dan kebahagian abadi manusia itu sendiri,
dan di sisi lain tak satupun manusia diberikan beban dan tanggung jawab
melebihi kemampuan mereka dalam melaksanakan kewajiban agama. Oleh karena itu,
syariat Tuhan merupakan perpaduan dari kedua makna tersebut.
·Keadilan dalam hukum. Tuhan dalam memberikan
pahala dan siksa kepada hambanya sesuai dengan amal perbuatan hambanya.
Berdasarkan hal tersebut, Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang
melakukan perbuatan baik karena perbuatan baiknya, dan Tuhan akan menyiksa
orang yang melakukan perbuatan buruk karena perbuatan buruknya itu
Demikian pula, berdasarkan keadilan hukum Tuhan bahwa tak satu pun manusia
disebabkan tanggung jawab atau kewajiban yang tidak sampai kepada mereka di
dunia ini akan menerima hukuman dan siksaan. Sebagian pahala dan siksa ini
diberikan di dunia dan sebagian yang lain akan ditangguhkan di akhirat.
Sebenarnya dengan memperhatikan bahwa hakikat hukuman akhirat adalah ada
hubungan antara hakikat wujud manusia dan perbuatan manusia itu sendiri,
dengan demikian keadilan dalam hukum ini pada akhirnya akan kembali kepada
keadilan takwini.
Argumentasi Akal tentang Keadilan Tuhan
Sebagaimana telah kami katakan bahwa, argumentasi
akal yang paling mendasar dalam pembahasan keadilan Tuhan adalah konsep
kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal (husn wa qubh
aqli) , dan telah kami jelaskan bagaimana hubungan keduanya. Oleh karena
itu, kesimpulan argumentasi akal tentang keadilan adalah keadilan adalah perbuatan
baik dan kezaliman adalah perbuatan buruk, dan Tuhan yang memiliki sifat Hakim
suci dan terlepas dari melakukan perbuatan yang menurut akal adalah perbuatan
buruk, maka dari itu, Tuhan tidak akan pernah melakukan perbuatan kezaliman dan
seluruh perbuatan Tuhan berdasarkan pada keadilan.
Sebenarnya, para teolog pendukung konsep keadilan
Tuhan memiliki argumentasi lain dalam menetapapkan keadilan Tuhan, akan tetapi,
menurut pandangan kami seluruh argumentasi tersebut apabila tidak berujung
kepada argumentasi yang berpijak pada konsep kebaikan dan keburukan rasio maka
argumentasi tersebut tidaklah sempurna, sebagai contoh dikatakan bahwa jika
kita misalkan Tuhan melakukan perbuatan zalim, makaada tiga kemungkinan
mengapa Tuhan melakukan perbuatan zalim tersebut: Pertama, perbuatan tersebut
bersumber dari kebodohan; Kedua, bersumber dari kebutuhan; dan ketiga, sesuai
dengan hikmah dan kebijaksanaan. Kemungkinan pertama dan kedua secara jelas
batil karena Tuhan memiliki Ilmu mutlak, oleh karena itu mustahil Dia melakukan
perbuatan zalim karena kebodohan-Nya atau karena kebutuhanNya. Kemungkinan
ketiga juga batal dengan sendirinya karena hikmah adalah menghindarkan dan
menghalangi pelaku dari perbuatan buruk, dengan demikian tidak mungkin Tuhan
melakukan perbuatan zalim.
Oleh karena itu, seluruh anggapan mengenai
kemungkinan Tuhan melakukan perbuatan zalim adalah batal dengan sendirinya.
Walhasil, seluruh perbuatan Tuhan adalah adil.
Keadilan Tuhan dari Berbagai Sumber dan Pendapat
Mu'tazilah
Mu'tazilah
(non-determinism) berargumen bahwa keadilan itu sendiri merupakan sebuah
realita, dan Tuhan swt sebagai satu-satunya eksistensi keadlian sempurna (The
Just) dan hikmah mutlak (All-wise) akan selalu berntindak berlandaskan tolok
ukur dan proposi keadilan.
Esensi
Baik dan Buruk Adalah masalah lain yang harus dikemukakan sebagai hasil dari
meluasnya jangkauan pandangan tentang jabr dan ikhtiar atau tentang keadilan.
Bahwa apakah secara global semua tindakan atau perilaku memiliki sifat baik dan
buruk secara esensial? Atau sebagai contoh, apakah kejujuran dengan sendirinya
bersifat baik dan penghianatan itu buruk? Apakah sifat-sifat seperti kebaikan
dan kelayakan, keburukan dan ketidaklayakan merupakan sifat-sifat yang memiliki
kenyataan tunggal sebagai atribut untuk setiap tindakan manusia tanpa harus
merujuk pada pelaku dan kondisi tindakan tersebut? Atau sebagai sifat-sifat
hipostasi dan relatif saja?
Hal
ini sangat berhubungan sekali dengan independensi akal dalam menilai
sifat-sifat ini. Apakah logika manusia dengan sendirinya mampu menilai baik dan
buruknya setiap tindakan? Atau membutuhkan syariat untuk memberikan penilaian
terhadapnya?
Mu'tazilah
(non-determinism) berpendapat akan dzati-nya baik dan buruk-baik pada esensinya
baik dan buruk pada esensinya buruk dan mengetengahkan masalah self-sufficients
logistic (mustaqillatul-aqliyah) bahwa dengan sangat jelas tanpa petunjuk
syariat agama pun akal mampu memilah setiap tindakan yang berbeda-beda.
Asy'ariyah
Adapun
Asy'ariyah sebagaimana mereka mengingkari keadilan, mereka juga mengingkari
esensi baik dan buruk. Pertama, mereka menganggap bahwa baik dan buruk itu
relatif yang bergantung pada kondisi, waktu dan lingkungannya, yang juga
merupakan hasil rangkaian dari doktrin-doktrin. Kedua, akal dalam menilai baik
dan buruk harus mengikuti petunjuk syariat. Dengan kata lain meminimalkan akal
dalam menetukan baik dan buruk atau bahkan mengabaikannya.
Perlu
diketahui bahwa mazhab Asy’ariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi.
Mereka tidak menilai bahwa Allah Swt. itu zalim, na’u dzubillah. Karena
sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an yang jelas yang tidak perlu ditakwil
menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman
dari-Nya.
Menurut
Al-Asy’ari semua perbuatan baik dan buruk, diciptakan oleh Allah, sama sekali
tidak ada keraguan dalam masalah ini, orang- orang Mutazilah beranggapan bahwa
perbuatan buruk keluar dari Allah. Merupakan kesalahan tersendiri jika
mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang
tidak menciptakan kecuali diinginkanya. Kekafiran adalah suatu yang buruk,
tidak patut diinginkan, maka jika ia datang dengan tanpa kesengajaan maka tidak
mungkin jika padahal penciptanya, pada hakekatnya yang bukan pencipta tidak
boleh mencipta
Mutazilah
melihat bahwa mengembalikan sekuruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa
manusia ada dua kemungkinan: berada dlam kenikmatan yang harus disyukuri atau
berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi Al-Asy’ari
tidak ada masalah dalam persoalan ini. Yang jelas ada bencana yang harus
dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada
bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan
maksiat. Ini berarti Allah menciptakan perbuatan maksiat, tetapi bukan berarti
Allah memerintahkan untuk berbuat hal itu dilakukan.Al-Asy’ari melupakan
pengaruh qada ini terhadap kebebsan berkehendak. Walaupun ia berusaha
melepaskan melalui teori kasab. sikap rela terhadap qada Allah padahal itu
wajib, terdapat kesulitan lain, yaitu kita rela terhadap kekafiran karena itu
merupakan qada Allah dan Al-Asy’ari berusaha intuk melepaskan diri dari hal
itu.
Mazhab
‘Adliyah
Adapun
mazhab ‘Adliyah meyakini bahwa segala perbuatan, terlepas dari kaitan penciptaan
dan pensyariatannya pada Allah, pada dirinya sendiri bersifat baik atau buruk.
Pada batas-batas tertentu, Akal mampu menjangkau kebaikan dan keburukan suatu
perbuatan serta menyucikan dzat Allah dari melakukan perbuatan buruk.
Pengetahuan akal ini tidak berarti bahwa akal memerintah Allah atau
mencegah-Nya. Maksud di atas ini ialah bahwa akal dapat mengetahui kesesuaian
atau tidaknya suatu perbuatan dengan sifat-sifat sempurna Allah.
Karenanya, ‘Adliyah meyakini kemustahilan dilakukannya perbuatan buruk oleh Allah
Swt.
Pandangan
Mazhab Syiah
Ketika
seorang manusia melihat pada sesamanya, kemuadian ia tidak mempunyai maksud
buruk, menghormati hak-haknya, tidak membedakan antara sesama, begitu juga
ketika dalam ruang lingkup kekuasaan maupun pemerintahan yang menyamaratakan
semua tingkatan sosial, dan juga dalam sebuah perselisihan ia memberikan
dukungan dan pembelaan pada orang yang lemah dan tertindas serta menentang
kejahatan dan kesewenang-wenangan, tentunya kita akan memuji sikapnya dan
menganggap dia telah berbuat adil. Begitu juga kita akan menisbatkan predikat
"zalim" pada orang yang bertindak tidak sesuai dengan yang diatas.
Namun bagaimana dengan Tuhan swt?
Pertama,
apakah makna-makna yang digunakan untuk manusia seperti keadilan dianggap
sebagai sifat kesempurnaan, dan kezaliman sebagai sifat ketidaksempurnaan wujud
manusia? Lalu apakah makna tersebut juga layak untuk eksistensiTuhan swt? Atau
makna tersebut hanya menghukumi sosial individu manusia saja yang merupakan
bagian dari hikmah praktikal sikap dan tindakan manusia?
Kedua,
kita umpamakan makna tersebut juga mencakup tindakan, lalu apakah mungkin
kezaliman itu muncul dari sisi Tuhan swt? Kita tidak melihatnya dari segi
mustahil atau tidaknya kezaliman yang muncul dari dzat-Nya, atau dari segi baik
dan buruk adalah sebuah pemahaman hasil dari doktrin-doktrin syariat saja, atau
tidak dari sudut pandang logika seperti yang diungkapkan Asy'ariyah, melainkan
kita melihatnya dari segi makna sederhana bahwa keadilan adalah menjaga hak-hak
orang lain dan kezaliman adalah merampas hak-hak orang lain.
Jelas
bahwa ada istilah penting dan lebih penting atau istilah kepemilikan (hak)
dalam hubungan antar manusia, dan segala bentuk pelanggaran terhadap
kepentingan dan kepemilikan (hak) merupakan kezaliman. Lalu bagaimana dengan
Tuhan swt? Sedangkan apapun yang dimiliki oleh makhluk berasal dari-Nya. Jika
kita hubungkan antara kepemilikan (hak) manusia dengan kepemilikan (hak) Tuhan
swt, tentunya kepemilikan (hak) manusia dibawah kapemilikan (hak) Tuhan swt,
dan tidak sejarar (horizontal). Yang artinya, Tuhan swt tidak bersekutu dengan
manusia dalam kepemilikan (hak), karena apapun yang manusia miliki, Tuhan swt
tetap lebih berhak atasnya.
Nah,
kini kita kembali kepada makna keadilan dan kezaliman diatas, maka kezaliman
tidak memiliki arti untuk Tuhan swt karena bukankah kezaliman adalah merampas
atau pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, sedangkan kata "orang
lain" (yang berarti selain-Nya) bagi Tuhan swt sudah tidak ada lagi. Hal
tersebut karena apapun yang ada di alam semesta ini adalah milik-Nya, bahkan
manusia itu sendiri, atau dengan bahasa filsafat, eksistensi selain Tuhan
(mumkinun wujud) adalah bergantung pada eksistensi-Nya.
Lain
halnya dengan pemahaman Asy'ariyah maupun Mu'tazilah, dalam mazhab Syiah makna
global keadilan Tuhan swt tidak berdampak buruk terhadap Tauhid fil Af''al
(ke-Esaan tindakan Tuhan) dan Ke-Esaan Tuhan swt. Syiah melihat keadilan dan
independensi akal serta kebebasan manusia dalam berkehendak telah ditetapkan
tanpa ada kontradiksi dengan ke-Esaan Tuhan swt, atau ikhtiar yang dimiliki
manusia ketika melakukan tindakan dan tidak menempatkan manusia pada posisi
sebagai sekutu Tuhan swt.
Keadilan Tuhan dalam Al-Quran
Perlu ditegaskan bahwa dalam al-Quran al-Karim
kata "al-adl" dan variannya tidak pernah digunakan dan
dinisbahkan kepada Tuhan[6], akan
tetapi, keadilan ilahi hanya digunakan semata-mata untuk menjelaskan
"penafian kezaliman", sebagai contoh sejumlah ayat menjelaskan bahwa
Tuhan tidak pernah menzalimi hak–hak manusia. Allah Swt berfirman, "sesungguhnya
Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun akan tetapi manusia itulah
yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri."
Dan dalam sebagian ayat menjelaskan bahwa
keadilan Tuhan memiliki lapangan yang lebih luas, "dan Tuhanmu tidak
menzalimi seorang juapun."
Dan, "dan tiadalah Allah berkehendak untuk
menzalimi dan menganiaya hamba-hambaNya.”
Yang dimaksud dengan "al-alamin"
disini mungkin seluruh makhluk yang berakal seperti manusia jin dan malaikat
serta juga ada kemungkinan yang dimaksud adalah seluruh alam jagat raya,
keadilan Ilahi batasannya lebih luas daripada hanya mengkhususkan kepada
kelompok manusia saja. Dan sebagian ayat menjelaskan keadilan takwini
Tuhan, "Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan
Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang dianugerahi
ilmu menyatakan bahaw tidak ada Tuhan melainkan Dia."
Sejumlah ayat juga menjelaskan keadilan tasyri'i,
"kami tidak membebani setiap jiwa kecuali ia mampu memikulnya."
Dan, "katakanlah bahwa Tuhanku
memerintahkanku untuk berbuat adil dan menjalankan keadilan."
Demikian pula halnya sejumlah ayat juga menegaskan
dan menjadi saksi atas keadilan hukum Tuhan, "dan kami memasang
timbangan yang tepat (keadilan) pada hari kiamat maka tak seorangpun dirugikan
barang sedikitpun."
Dan, "Dialah yang memulai penciptaan kemudian
mengembalikannya (menghidupkannya) untuk memberikan pembalasan bagi orang yang
beriman dan beramal shaleh dengan penuh adil."
"Dan kami sekali-kali tidak
akan mengazab sebuah kaum sebelum kami mengutus kepada mereka seroang
rasul." Serta, "Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menganiaya mereka
akan tetapi merekalah yang menganiaiya diri mereka sendiri."
Ayat terakhir menjelaskan tentang azab-azab yang
menimpa para pemimpin yang zalim dan al-Quran dengan meyebutkan akibat dari
perbuatan mereka bahwa balasan dan siksa Tuhan bukanlah berarti Tuhan
akan menzalimi mereka. Tetapi itu akibat dari perbuatan mereka sendiri,
oleh karena itu, jika terjadi penganiayaan dan kezaliman di antara mereka pada
hakikatnya mereka yang menzalimi dirinya sendiri.
Disamping ayat al-Quran banyak sekali hadis yang
sampai ke tangan kita yang menjelaskan keadilan Tuhan, seperti hadis yang
dinukil dari Rasullah Saw, "Langit dan bumi tercipta berdasarkan
keadilan."[18] Amirul
mukminin As ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang makna tauhid dan adil
bersabda, "Tauhid adalah engkau tidak membayangkannya (menyerupakan dengan
makhluk) dan adil adalah tidak menuduh dan menyangka sesuatu yang tidak layak
untukNya." Demikian juga ketika menyifati Allah Swt, beliau bersabda,
"Allah tidak akan pernah mengzalimi hambanya dan menegakkan dan
melaksanakan keadilan di antara makhluknya dan berlaku adil dalam pelaksanaan
hukumnya."
Kesimpulan
1.Masalah keadilan Ilahi adalah
salah satu asas paling penting dalam akidah Islam, karena urgensinya masalah
tersebut sehingga termasuk dari salah satu rukun iman atau salah satu dari
rukun keimanan mazhabi, disamping itu memiliki peran yang sangat vital dalam
masalah ideologi dan teologi serta memiliki banyak pengaruh dalam
pendidikan individu dan masyarakat;
2. Teolog Imamiyah dan Muktazilah
dikenal sebagai kelompok 'Adliyah yang meyakini keadilan Ilahi dan kelompok
Asy'ariyah (yang memiliki defenisi tersendiri tentang keadilan Ilahi)
mengingkari keadilan Ilahi (yang dipahami secara umum)
3.Salah satu dasar yang paling
penting dalam masalah akidah yang terkait dengan keadilah Ilahi adalah
penerimaan konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal, karena
berdasarkan konsep ini, keadilan adalah perbuatan baik dan zalim adalah
perbuatan buruk, dan Tuhan suci dari melakukan perbuatan buruk, sementara para
penentang konsep tersebut tidak bisa membangun argumentasi yang kokoh atas
penolakan mereka terhadap pandangan keadilan Ilahi;
4. Al-adl (keadilan) memiliki banyak arti seperti
"menjaga persamaan", "menghindari diskriminasi", atau
"menjaga hak orang lain". Akan tetapi, makna yang bisa mencakup dan
menampung seluruh makna di atas adalah "meletakkan sesuatu atau seseorang
sesuai dengan posisi, kapasitas, kualitas, dan kondisinya". Dasar
pemikiran defenisi ini adalah bahwa dalam alam takwini (penciptaan) dan tasyri'i
(hukum agama) segala sesuatu memiliki posisi, kapasitas, kualitas, dan kondisi
yang layak dan baik bagi dirinya sendiri, dan keadilan adalah menjaga
kesesuaian, kelayakan, dan keselarasan tersebut;
5. Keadilan Ilahi ada tiga macam: keadilan takwini, keadilan tasyri'i,
dan keadilan hukuman dan balasan. Keadilan takwini adalah Tuhan
memberikan anugerah dan rahmat-Nya (dalam bentuk wujud) kepada ssetiap makhluk
sesuai dengan kapasitas dan potensi pada makhluk tersebut, dan setiap
eksistensi akan mencapai kesempurnaan sesuai dengan potensi dan kapasitas yang
dia miliki;
10.Sekelompok orang meyakini bahwa adanya perbedaan di antara makhluk Tuhan
tidak selaras dengan keadilan Tuhan. Kita menjawabnya bahwa anggapan ini bisa
dianggap benar jika kemestian perbedaan takwini yang ada di alam bisa
dipisahkan dari hukum alam dan sunnatullah, dengan demikian akan tercipta alam
yang tidak ada perbedaan di dalamnya sama sekali;