"Terminal terakhir…, terminal terakhir,” riuh suara
kernet itu.
"Mas, turun” aku terjaga. Aku pun turun dengan tas di
punggungku dan segera naik bis lain menuju ke desaku.
Setelah beberapa menit bis
berlalu. Kubuka tasku. Betapa kaget ketika sebuah amplop coklat berisi ijazah,
akte kelahiran serta surat-surat berhargaku lainnya raib entah ke mana. Aku
bingung. Dada serasa penuh, sesak. Ingin kuberteriak, lalu memberhentikan bis yang
melaju demikian cepat itu. Hatiku gundah gulana, terasa keringat membasahi
tubuhku. Namun, perjalanan ini sudah terlalu jauh, aku hanya bisa mengaduh
seraya setitik air mataku pecah, mengalir di antara gelisah yang mendesahkan
nafasku.
Kubuka mataku. Perih. Pikiranku masih buntu. Bis masih
melaju begitu kencang. Pohon-pohon sepanjang jalan serasa beterbangan bagai
kapas. Umpatan-umpatan
kecil berloncatan dari mulutku bagi orang sengaja mengambil amplop berisi
dokumen berharga itu. Tapi, di saat lain, aku menyadari betapa raibnya amplop
itu bersumber dari kelalaianku. Ya, aku memang tertidur pulas saat mengendarai
bis yang pertama tadi. Entahlah.
Dua hari setelah kejadian itu.
Hari ketika aku tertidur pulas. Kernet
bis membangunkan aku, menyuruh aku keluar dan pindah ke bis lain. Pagi, di
ruang tamu, aku, abah, dan emak duduk santai dengan segelas teh hangat, dan sebuah
koran pagi. Abah senang membaca, termasuk Koran.
Aku masih bingung. Apa yang harus aku perbuat tanpa
ijazah. Lebih-lebih semua Ijazah yang hilang, bukan hanya ijazah S1-ku saja.
Abah dan Emak selalu berusaha menenangkan aku, berusaha memaksa aku tersenyum.
Senyumku yang mawar, begitu kata sebagian orang. Benar, aku sering tersenyum.
"Nak, lebih baik kamu menikah saja. Melaksanakan
sunnah Rosul. Itu kan
berpahala,” kata Emak memecah suasana.
Aku terkejut. Keputusan apalagi ini, tiba-tiba menyuruhku
menikah.
"Menikah itu sulit, Emak-Abah. Apalagi aku belum
punya calon. Aku tidak mencintai seorang gadis pun.” Aku memelas. Abah masih
terdiam. Abah belum berkata sepatah kata pun. Aku tatap pandangan Abah yang
begitu embun. Juga, wajah Emak yang selalu menyiratkan harapan.
"Pasti, ada seorang gadis yang mencintaimu,” ucap Abah
mencoba meyakinkanku. Terasa semakin sempit dadaku, tersengal nafasku. Siapa
gadis itu….
"Kring…kri…ng, kring.”
Bel berbunyi. Siapa bertamu
sepagi ini, tidak biasa. Kemudian aku berlalu menghampiri pintu, membukanya.
Aku ingin mengetahui siapa yang bertandang
ke rumah kami sepagi ini.
"Jalan Sudirman No 35,” ucap seorang lelaki yang
sepertinya Pak Pos.
"Ya, benar. Ada
keperluan apa ya, Pak,” jawabku seraya singkat bertanya.
"Anda Mas Hasan Ahyar?” tanyanya.
Seraya memberikan aku sebuah amplop
kuning.
"Tanda tangan dulu, Mas Hasan.”Diberikannya padaku, sebuah tanda terima surat, lengkap dengan
bulpennya.
"Dari Nona Sheila, Pondok Pesantren Darul
Mutthaqin, Tangerang,” jelasnya singkat perihal amplop itu.
"Terima kasih, Mas. Permisi….”
Aku membatu, tidak menghiraukan apa yang diucapkan Pak
Pos sebelum akhirnya ia berlalu.
"O ya, Pak…,” ucapku setengah berteriak.
Abah, Emak masih tetap di
ruang tamu. Menghabiskan pagi dengan
segelas teh hangat. Begitulah biasanya. Kemudian, aku menghampiri mereka. Di tangan kananku sebuah
amplop kuning yang tidak kutahu apa isinya. Sesekali kubaca perlahan nama
pengirimnya, Sheila. Mungkin salah alamat, batinku.
"Apa itu, Nak?” tanya Emak ingin
tahu. Ia tatap mataku. Kembali juga kutatap wajahnya yang mulai menua. Ya, Emak ingin aku segera menikah. Abah, yang
serius dengan korannya, sesekali mengernyitkan dahi.
"Masya Allah…,”
ucap Abah di antara kerjitannya. "Harga lada turun lagi, Mi!”
"Dari siapa, Nak,” tanya Emak tidak memperdulikan
ucapan Abah.
"Shei…la, dari Sheila, Mak.”
"Sheila….”
"Aku juga tidak tahu, siapa
dia, Mak. Rasanya aku tidak pernah punya teman bernama Sheila,” jelasku.
"Alhamdulillah. Ijazah
kembali.” Aku begitu senang, terasa ingin aku menghambur keluar. Terasa aku ingin
merengkuh rembulan. Aku bahagia sekali.
"Alhamdulillah,” ucap Emak-Abah
bersamaan.
Selasa, pagi-pagi aku minta izin
kepada Emak dan Abah. Aku ingin
mencari tahu siapa Sheila itu, gadis yang telah demikian baik mengembalikan
semua surat-surat berhargaku. Tentu aku ke kantor pos terlebih dahulu, mungkin di
sana bisa
kutemukan alamat lengkap si pengirim amplop itu, Sheila, begitu namanya.
Di kantor pos. Aku bertanya ke semua petugasnya,
namun hasilnya nihil. Aku tidak mendapatkan keterangan apa-apa. Karena, Sheila
tidak menuliskan alamat lengkapnya di amplop yang kuterima tadi. Hanya, Pondok
Pesantren Darul Muttaqin, Tangerang. Begitu yang tertulis di buku penerimaan surat di kantor pos.
"Bagaimana caranya, aku bisa mendapatkan alamat
lengkap Sheila. Tuhan, Aku ingin berterima kasih banyak padanya.”
Aku melanjutkan perjalanan. Kali ini aku memutuskan
untuk pergi ke rumah kawanku, Khoiri di Banten.
"Mas Hasan, kami punya nomor Hp-nya!” seru salah
seorang karyawan kantor pos itu.
Aku balik arah lagi. Dengan cepat kudatangi kantor
pos itu lagi.
"Berapa,” tanyaku.
"Ini Mas, 081939471241.”
"Terima kasih, Pak.”
Aku jabat tangannya dan kemudian aku berlalu. Aku
pulang ke rumah. Niat bulat aku untuk pergi ke rumah kawanku, Khoiri di Banten
batal. Aku harus coba menghubunginya dulu. Aku menghubungi nomor yang aku dapat
di kantor pos tadi.
Terasa ada yang asing dalam
diriku. Ada
getaran yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Rasa itu demikian membuatku
selalu mendesahkan nafas panjang. Sungguh begitu asing. Apakah aku sedang jatuh
cinta kepada Sheila. Tapi mungkinkah? Apalagi aku tidak pernah bertemu
dengannya. Sheila, aku ingin bertemu denganmu, walau sekadar berterima kasih
saja. Ya, benar, aku ingin berterima kasih banyak atas apa yang telah kau
lakukan padaku. Aku telah berhutang budi padamu, Sheila. Aku ingin tahu di mana
alamat lengkapmu.
Setelah makan malam, tentu bersama Abah dan Emak.
Aku memutuskan untuk segera mungkin menghubunginya.
"Maaf, benar ini, Nona Sheila?” tanyaku.
"Ya, aku Sheila. Anda siapa ya, dan…ada keperluan
apa denganku?” jawabnya singkat.
"Aku Hasan Ahyar. Aku ingin berterima kasih padamu.
O…ya, kamu tinggal di mana?”
"Mas Hasan, tidak perlu berterima kasih padaku.
Berterima kasihlah kepada Allah. Aku mengajar di Pondok Darul Muttaqin, Tangerang.
Aku berasal dari Bangka,” jelasnya panjang
lebar.
"Nona dari Bangka?
Aku juga tinggal di Bangka. Nona di mana ya.”
"Sudah dulu ya, Mas. Aku masih mau ngajar. Assalamualaikum,”
ucapnya tanpa menghiraukan pertanyaanku yang begitu ingin tahu itu.
"Tapi….” Tiba-tiba aku terdiam. Kemudian Sheila menutup
teleponku itu. Terasa asing memang. Benarkah
aku telah jatuh cinta pada Sheila? Entahlah.
Aku termanggu duduk di bibir ranjangku, seraya
menatap ke luar jendela. Bulan masih beludru. Aku suka suasana saat itu.
Kerlap-kerlip bintang-gemintang menambah sumringah suasana hatiku. Sesekali, desir
angin menyapaku dengan gigil. Ya, suara Sheila masih terngiang terang di
telingaku. Mendengar suara itu, jantungku berdegup keras. Ibarat magnet, suara
Sheila telah menarik kesadaranku. Suara itu pula yang seakan mengirimkan pesan
indah: cinta.
"Bulan, bintang, dan angin, aku mencintai Sheila. Tapi,
bagaimana aku bisa mendapatkannya, sedang diriku belum pernah melihatnya, kecuali
suaranya saja.” Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di mana
aku bisa bertemu dengannya. Perlahan aku telah demikian mencintainya. Aku akan
mengatakan pada Abah-Emak bahwa aku telah mendapatkan seorang gadis yang begitu
aku cintai. Ya, aku ingin menikah dengannya, tidak orang lain. Akhirnya, aku
memutuskan untuk memberinya sepotong jilbab. Aku pun menelponnya.
"Sheila, telah aku kirimkan sepotong jilbab
berwarna merah jambu untukmu,” jelasku padanya dengan tangan gemetar.
"Jilbab merah jambu….”
"Benar, sepotong jilbab merah jambu itulah, yang
akan menjadi pertanda, ketika kita bertemu nanti. Dan sengaja kusulam namamu,
di bagian bawah sebelah kiri, agar mempermudah aku mengenalmu. Entah kapan itu
terjadi.”
Sepotong jilbab merah jambu. Setelah kukirim
sepotong jilbab merah jambu itu padanya, aku tidak lagi pernah menghubunginya.
Begitulah permintaannya. Dia masih mau menyelesaikan hafalan Qur’annya, selain
menuntaskan aktivitas mengajarnya.
Jam 08.00 pagi. Aku dibangunkan Emak. Sejurus kemudian
beliau menyuruhku segera mandi.
"Cepat mandi, kita akan kedatangan tamu spesial,” ujar
emak.
Beribu pertanyaan tiba-tiba
muncul di benakku. Siapa tamu spesial yang akan datang ke rumah pagi ini? Aku
beranjak dan menyegerakan mandi. Ya, aku tidak ingin mengecewakan Emak dan Abah.
Tidak. Aku selalu ingin memberikan
yang terbaik buat kedua orang tuaku itu. Aku ingin mereka bahagia. Selesai
mandi, aku langsung duduk bersama Emak dan Abah di ruang tamu, menunggu tamu
spesial tiba.
"Mana tamunya, Mak. Kok belum datang juga?” tanyaku
singkat.
"Kring…kring….”
"Nah… itu datang.”
Kami bertiga, aku, Emak dan Abah menghampiri pintu.
Kami menyambut tamu itu.
"Assalamualaikum…Pak Ahyar, Bu Emi!”
"Waalaikum salam…Pak. Zumrowi, Bu Aminah, Nona
Cantik. Mari masuk,” jawab Abah-Emak bersamaan. Seraya menyuruh duduk.
Beberapa menit berlalu, setelah Abah-Emak, serta Pak
Zumrowi dan Bu Aminah saling bertukar cerita. Melepas rindu. Ya, mereka sahabat
lama rupanya.
"Pak. Ahyar, bagaimana rencana lama kita dulu. Rencana
penjodohan putra-putri kita, Nak Hasan dengan putri saya, Ela Isnani
Munawwaroh,” ingat Pak Zumrowi.
Mendengar itu, aku gemetar, tubuhku menggigil. Aku
akan dijodohkan bukan dengan Sheila. Padahal, aku sudah pernah cerita kepada Emak-Abah.
Aku tidak akan menikah kecuali dengan Sheila. Tidak.
Nafasku terengah-engah tidak terarah. Tubuhku
menggigil dingin. Kenapa tidak, aku kembali dihadapkan dengan masalah yang
demikian berat. Yang memaksaku untuk berbuat ekstra hati-hati. Karena kalau
tidak, aku akan hancur. Aku akan tenggelam dalam harapan yang tidak pernah
tercapai.
"Bah, Mak. Aku tidak akan menikah kecuali dengan
Sheila. Aku
demikian mencintainya, Bah-Mak. Aku mencintainya.
Aku tidak ingin mengkhianatinya. Tidak.” Mendengar hal itu Abahku tertunduk
malu. Emak pun begitu. Tapi tidak kutemukan setitik pun kesusahan di wajah tiga
orang tamu kami itu. Mereka tampak tenang. Pak Zumrowi, Bu Aminah juga
putrinya, Ela Isnaini Munawwaroh, tetap menunduk anggun. Dia juga cantik, tapi
aku tidak mencintainya. Cintaku tidak bisa dibagi lagi. Aku hanya akan
mencintai Sheila. Sheila saja, bukan yang lain, bukan juga Ela Isnaini
Munawwaroh.
Semuanya terdiam, membisu, membatu. Abah, Emak, Pak
Zumrowi, Bu Aminah, Ela Isanaini Munawwaroh termasuk juga aku. Kami semua diam,
tanpa sepatah kata pun. Setelah beberapa saat berlalu,
"Om, Tante, Mas
Hasan Ahyar, akulah Sheila. Ela Isnaini Munawwaroh itu nama lengkapku. Jika Mas
masih tidak percaya, coba Mas lihat jilbabku. Di sebelah kiri ini tersulam
namaku. Ya, kaulah yang menyulamnya kan,
Mas. Mas pernah bilang, bahwa suatu hari nanti sepotong jilbab inilah, yang
akan menjadi pertanda kala kita bertemu. Begitulah hari ini, sepotong jilbab merah
jambu yang Mas sulam namaku di sebelah kiri dadaku itulah, yang aku kenakan.
Bukan yang lain. Maaf, aku dulu lupa memberi tahu nama lengkapku. Akhirnya, Mas
hanya mengenal nama Sheila. Mas demikian mencintai Sheila, tapi Sheila itu adalah
Ela Isnaini Munawaroh yang Mas kenal sekarang. Aku Sheila, Mas. Aku juga Ela
Isanaini Munawwaroh. Aku mencintaimu, Mas,” jelas Ela yang tak lain adalah Sheila
yang kukenal. Dia telah mengenakan sepotong jilbab merah jambu itu.
Aku tersentak, kenapa aku juga tidak bertanya nama
lengkapnya dulu. Abah dan Emakku mengusap dada. Dan kulihat di mata mereka
mengalir gumpalan air mata.
"Kalian sudah saling mengenal,” ucap Abah.
"Kau bersedia menjadi
istriku?” tanyaku.
"Ya, aku bersedia menjadi istrimu.” Tiba-tiba bulir-bulir
lembut mutiara di matanya terpecah dan mengalir, membasahi sepotong jilbab
merah jambunya.
"Alhamdulillah,” ucap orang tuaku, orang tuanya
bersamaan.
SSA, 29 November 2009
*Juara II Lomba Cipta Cerpen Se-Jatim Yang Diadakan
FLP Sumenep Tahun 2009